A.
Asas – Asas Hukum Pidana Formil
1. Asas Praduga Tidak
Bersalah (presumption of innocence)
Yaitu bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang memutuskan
tentang kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2. Asas Oportunitas
Yaitu hak
seorang Jaksa untuk menuntut atau tidak demi kepentingan umum.
3. Asas Pemeriksaan
Pengadilan Terbuka
Pemeriksaan dalam sidang dilakukan
secara terbuka, terkecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
4. Asas
Tersangka/Terdakwa Boleh Mendapat Bantuan Hukum
Dalam suatu perkara pidana,seorang
tersangka sejak saat itu dilakukan pengangkapan dan/atau penahanan berhak
menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum.
5. Asas
Keseimbangan
Yaitu proses hukum yang ada haruslah menegakkan
hak asasi manusia dan melindungi ketertiban umum
6. Asas Unifikasi
Yaitu penyamaan keberlakuan hukum acara pidana di
seluruh wilayah Indonesia
7. Asas Ganti
rugi dan Rehabilitasi.
Yaitu adanya ganti rugi dan rehabilitasi bagi
pihak yang dirugikan karena kesalahan dalam proses hukum.
8. Asas Peradilan
Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Yaitu pelaksanaan peradilan secara tidak
berbelit-belit dan dengan biaya yang seminim mungkin guna menjaga kestabilan
terdakwa.
9. Asas Akusator
Yaitu penempatan tersangka sebagai subjek yang
memiliki hak yang sama di depan hukum.
10. Prinsip
Pembatasan Penahanan
Yaitu menjamin hak-hak asasi manusia dengan
membatasi waktu penahanan dalam melalui proses hukum.
11. Prinsip
Diferensiasi Fungsional
Yaitu penegasan batas-batas kewenangan dari aparat
penegak hukum secara instansional.
12. Prinsip Saling
Koordinasi
Yaitu adanya hubungan kerja sama di antara aparat
penegak hukum untuk menjamin adanya kelancaran proses hukum.
13. Prinsip
Penggabungan Pidana dengan Tuntutan Ganti Rugi
Yaitu dipakainya gugatan ganti rugi secara perdata
untuk menyelesaikan kasus pidana yang berhubungan dengan harta kekayaan.
14. Kekuasaan
Hakim yang Tetap
Yaitu peradilan harus dipimpim oleh
eorang/sekelompk hakim yang memiliki kewenangan yang sah dari pemerintah.
15. Pemeriksaan
Hakim Yang langsung dan lisan
Yaitu peradilan dilakukan oleh hakim secara
langsung dan lisan (tidak menggunakan tulisan seperti dalam hukum acara
perdata.
B.
Proses Penyelesaian Perkara Pidana Formil
Adapun
proses pelaksanaan hukum acara pidana terdiri atas beberapa tingkatan. Berbeda
dengan pemeriksaan di dalam hukum acara perdata yang menekankan kepada
keberanaran formal, maka hukum acara
pidana yang dikejar adalah kebenaran material, artinya suatu pengakuan tanpa
disukung oleh alat bukti lain bukanlah menjadi alat bukti mutlak. Juga di dalam
hukum acara pidana, bukan saja dikenal pemeriksaan di muka persidangan, akan
tetapi dikenal pula adanya pemeriksaan diluar sidang. (Siti Soetami; 1992:62)
Tingkatan
pemeriksaan dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut:
a.
Pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek)
b.
Pemeriksaan terakhir (eindonderzoek)
di dalam sidang Pengadilan pada tingkat pertama
c.
Memajukan upaya hukum (rechtsmiddelen)
yang dapat dijalankan terhadap putusan hakim, baik di tingkat pertama maupun
pada tingkat banding.
d.
Pelaksanaan putusan hakim
Seorang
tersangka/terdakwa berhak didampingi penasihat hukum dan dapat pula tidak
didampingi. Dalam hal ancaman hukumannya pidana mati, maka terdakwa harus
didampingi penasihat hukum/pembela, sedang bila terdakwa dalam keadaan tidak
mampu mencari/membayar pembela, maka menjadi kewajiban dari pengadilan untuk
menyediakan pembela secara cuma-cuma.
Alat-Alat
Bukti
Dalam
persidangan perkara pidana, baik jaksa maupun terdakwa dapat mengajukan
alat-alat bukti. Alat bukti yang diajukan oleh jaksa adalah untuk menguatkan
dakwaannya, sedang bagi terdakwa alat bukti yang diajukanya adalah untuk
menangkal tuduhan jaksa. Ketentuan mengenai alat bukti ini diatur dalam Pasal
184 KUHAP, yang menentukan alat-alat bukti sebagai berikut:
a.
keterangan saksi
b.
keterangan ahli
c.
surat-surat
d.
petunjuk
e.
keterangan terdakwa
Putusan
Hakim
Setelah
hakim mendapat keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah akan kebenaran dalam
perkara tersebut, maka hakim akan mempertimbangkan hukuman apa yang akan
dijatuhkan dalam suatu putusan (vonis).
Vonis tersebut dapat berupa:
a.
Dalam hal perbuatan yang didakwakan jaksa tidak terbukti maka oleh hakim
dijatuhkan putusan yang mengandung pembebasab terdakwa (vrijspraak)
b.
Dalam hal perbuatan yang didakwakan jaksa terbukti tetapi perbuatan yang
dilakukan itu bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka oleh hakim akan
dijatuhkan putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging)
c.
Dalam hal terdakwaterbukti melakukan kejahatan atau pelanggaran, maka dikenakan
putusan yang mengandung penghukuman.
Upaya
Hukum
Setelah
perkara diputus oleh hakim, maka apabila jaksa ataupun terdakwa merasa tidak
puas atas putusan itu, maka mereka dapat melakukan upaya hukum, dalam hal ini
dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Demikian selanjutnya apabila
tidak puas terhadap pututsan pengadilan tinggi, maka yang bersangkutan dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Jika
putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, artinya sudah
tidak ada yamg mengajukan upaya hukum lagi, maka putusan itu dapat dilaksanakan
dan merupakan tugas jaksa untuk melaksanakan (mengeksekusi) putusan hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar