Selasa, 17 Januari 2012

HUKUM PERDATA FORMIL

A. Asas – Asas Hukum Perdata Formil
1.   Hakim bersifat pasif
Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara ke pengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan.
2.   Hakim dilarang menolak perkara
Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.
Bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)
3.   Hakim bersifat aktif
Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
4.   Persidangan yang terbuka
Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU No. 14/1970).
5.   Kedua belah pihak harus didengar
Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.
6.   Putusan harus disertai alasan
Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa
7.   Sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan maksudnya agar tidak memakan biaya yang banyak.
8.   Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.
9.   Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.

B. Hal – Hal Pokok dalam Hukum Acara Perdata
Untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, badan-badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika norma-norma hukum yang telah diadakan tidak ditaati oleh masyarakat. Dibidang hukum ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal, yaitu rangkaian kaidah yang mengatur cara-cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara kemuka suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan. Dapat juga dikatakan suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum materiil.
Hukum Acara disebut juga Hukum Formal, jadi Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Baru (RIB).
HIR ini merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang masih berlaku pada waktu ini, dan tercantum dalam Stb 1941 No 44.
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan kedepan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang); cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim yang juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; dan cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Materiil.
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Sudikno Mertokusumo)
Hukum Perdata (materiil) yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan hukum acara tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (mis. BW, UU Perkawinan, UU Pengadilan Agama, dll) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
Fungsi dari Hukum Perdata Formil adalah mempertahankan dan melaksanakan Hukum Perdata Materiil, artinya Hukum Perdata Materiil dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan Hukum Acara Perdata ini.
Lapangan keperdataan memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan (mis. Perkawinan, jual beli, sewa, hutang piutang, hak milik, waris, dsb).
Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan antara kepentingan perseorangan atau antara kepentingan suatu badan pemerintah dengan kepentingan perseorangan (mis perselisihan tentang perjanjiann jual beli, sewa, pembagian waris, dsb)
Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan, misalnya, pengadilan perdata, kantor catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian), Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster), Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor Lembaga Bantuan Hukum, dan Pengacara.
Dalam bidang Hukum Acara pengadilan berlaku asas-asas pengadilan sbb:
  1. Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri.
  2. Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan.
  3. Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan badan negara lainnya. 
  4. Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum. 
  5. Kecuali yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan terbuka untuk umum dan keputusan  hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka.
Hukum Acara Perdata Indonesia bersumber dari 3 kodifikasi hukum, yaitu :
  1. Reglemen Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan Madura. 
  2. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura, sekarang diganti dengan KUHAPer. 
  3. Reglemen Hukum untuk daerah seberang yang berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia diluar Jawa dan Madura.
Dalam kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB, maka pengadilan menggunakan aturan-aturan dari Reglemen Hukum Acara Perdata (HIR)
Perbedaan antara hukum acara perdata dengan hukum acara pidana:
  1. Inisiatif melakukan acara perdata datang dari pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan acara pidana perkara datang dari Negara (Jaksa Penuntut). 
  2. Dalam acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam persidangan yaitu dalam acara dimuka hakim. Acara perdata tidak mengenal pengusutan dan atau penyelidikan permulaan. 
  3. Dalam acara pidana hakim bertindak memimpin sedangkan dalam acara perdata hakim menunggu saja. 
  4. Saat ini setiap pengadilan negeri melaksanakan peradilan anak yang tidak hanya bersifat acara perdata tetapi juga acara pidana.
C. Prosedur Penyelesaian Perkara Litigasi
1. Pihak yang berkepentingan (dalam hal ini Penggugat), mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri. Gugatan dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis.
2. Setelah suatu gugatan dari seseorang masuk ke Pengadilan, maka ditentukan apakah perkara itu diperikas oleh Hakim Tunggal atau Majelis. Selanjutnya pada hari yang ditentukan, para pihak dipanggil untuk menghadap ke muka sidang pengadilan setelah pihak yang digugat (tergugat) diberi salinan gugatannya.
3. Dalam sidang pertama, Hakim memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk berdamai terlebih dahulu.
4. Bila perkara dilakukan secara lisan, maka dalam sidang pertama (setelah diberikan kesempatan untuk berdamai), maka tergugat wajib mengemukakan argumentasinya sebagai bantahan terhadap gugatan yang ditujukan kepadanya. Kemudian diberikan dilakukannya debat singkat (antara penggugat dengan tergugat) dan dalam waktu singkat berikutnya dapat diberikan putusan.
5. Bila perkara ditempuh secara tulisan, maka prosesnya adalah diberikan kesempatan bagi tergugat untuk menyampaikan jawaban atas gugatan yang ditujukan kepadanya melalui jawaban tertulis. Selanjutnya setiap sidang berturut-turut Penggugat mengajukan replik, kemudian dilajutkan dengan penyampaian duplik oleh Tergugat. Setelah itu dilakukan acara pembuktian dengan mengajukan saksi-saksi ataupun bukti-bukti lain oleh para pihak untuk membenarkan dalil-dalil yang dikemukakannya.
6. Setelah proses itu dilalui, pada kesempatan akhir maka para pihak diberikan menyampaikan kesimpulan.
7. Dalam sidang terakhir, Hakim mengemukakan pertimbangan hukumnya yang ditutup dengan Putusan Hakim.

Alat-alat Bukti dalam Perkara Perdata
Tentang alat bukti di dalam beracara perdata diatur dalam Pasal 1866 BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang menyebutkan alat-alat bukti tersebut sebagai berikut:
a. Pembuktian dengan surat-surat, tulisan
b. Pembuktian dengan saksi-saksi
c. Persangkaan (vermoedens)
d. Pengakuan dari suatu pihak
e. Sumpah

HUKUM PERDATA MATERIIL

A. PENDAHULUAN

Istilah dan Pengertian Hukum Perdata
Istilah Hukum Perdata merupakan alih bahasa dari bahasa Belanda Burgerlijk-Recht. Pengertian yang sama dengan istilah burgerlijk-recht adalah civiel-recht atau privat-recht. Burger artinya warga masyarakat, civiel artinya mengenai warga masyarakat, dan privat artinya pribadi. Di dalam bahasa Inggris hukum perdata dikenal dengan nama Civil Law.
Kata perdata sendiri terdapat pertama kali secara resmi dalam perundang-undangan Indonesia, yaitu dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950.
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Saxon (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.

Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh Mr. J.M.Kemper disebut Ontwerp Kemper namun sayangnya Kemper meninggal dunia sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
  1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda]
  2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.

Hukum Perdata Indonesia
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat, sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
  • Buku I tentang Orang: mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
  • Buku II tentang Kebendaan: mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan  dan  kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun  1960  Tentang  Agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
  • Buku III tentang Perikatan: mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer. 
  • Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
Hukum Perdata dilihat dari fungsinya ada dua macam, yaitu: 
1. Hukum perdata materiil yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata, yaitu mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subyek hukum. 
2. Hukum perdata formil yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan hukum perdata materil
Bagaimana tata cara seseorang menuntut haknya apabila diinginkan oleh orang lain, Hukum Perdata formil biasa juga disebut hukum acara perdata.

B. Pluralisme Hukum Perdata Materiil
Hukum perdata materiil yang berlaku di Indonesia bersifat pluralis, hal ini terkait dengan sejarah politik hukum pada masa Hindia Belanda berdasarkan Indische Staatsregeling  (IS) Stb 1925 No.1415  yang mengatur tentang penggolongan penduduk dan hukumnya yang berlaku bagi mereka.
Hukum Perdata Barat (KUHPerdata) dan KUHDagang (WVK)
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk  pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W.
Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang  RI  misalnya  mengenai  UU  Perkawinan,  UU  Hak  Tanggungan, UU Kepailitan.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia  Belanda  disebut  juga  Kitab  Undang  –  Undang  Hukun  Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia. Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan  perdagangan  dalam  usahanya memperoleh  keuntungan.
Dapat juga dikatakan, hukum dagang adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia-manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya, dalam lapangan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7). Pengertian lain, hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan (H.M.N. Purwosutjipto, 1987 : 5).

• Hukum Perdata Adat
Hukum Adat adalah adalah seperangkat norma dan aturan  adat/kebiasaan  yang  berlaku  di  suatu  wilayah.  misalnya  di perkampungan  pedesaan  terpencil  yang  masih  mengikuti  hukum  adat.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbu dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.

Hukum Perdata Islam
Schacht menulis bahwa  "Hukum suci Islam adalah sebuah badan yang mencakup semua tugas agama, totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya."

C. Kodifikasi dan Non Kodifikasi Hukum Perdata Materiil
Kodifikasi Hukum ialah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Yang termasuk kodifikasi hukum materiil di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Dagang (1 Mei 1848) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (1 Mei 1848).
Sedangkan yang termasuk non kodifikasi hukum adalah peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang bersifat perdata (seperti: UU Perkawinan, UU Agraria, UU Kepailitan, dll), hukum adat (termasuk hukum kebiasaan dan awig-awig) dan hukum agama.

D. Hukum Pribadi, Hukum Keluarga, Hukum Waris, Hukum Benda
1. Hukum Pribadi (Personenrecht)
Mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam  hukum,  mengatur  tentang  perihal  kecakapan  untuk  bertindak  sendiri melaksanakan hak-hak  itu dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
2. Hukum  Keluarga (Familierecht)
Mengatur  prihal  hubungan-hubungan  yang  timbul  dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
3. Hukum Kekayaan atau Benda (Vermogensrecht)
Mengatur prihal hubungan – hubungan hokum yang dapat dinilai dengan uang.
Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksudkan ialah jumlah dari segala hak dan kewajiban orang itu dinilaikan dengan uang.
Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh karenanya dinamakan Hak Mutlak dan hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
4. Hukum  Waris (Erfrecht)
Mengatur  tentang  benda  atau  kekayaan  seseorang  jika  ia meninggal. Disamping itu hukum warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.